2.03.2010

Bersikap Sebagai Entrepreneur


"Bagaimana sebaiknya sikap yang diambil oleh entrepreneur, apabila kegiatan bisnisnya terkena dampak krisis ekonomi?"


Sebagai pemimpin perusahaan dalam menghadapi masalah ini, saya kira kita harus menjadi entrepreneur sejati yang emosinya cerdas. Entrepreneur yang saya maksud disini adalah entrepreneur yang tidak mudah panik, sebab jika panik, justru mengakibatkan sesuatu yang lebih parah lagi. Misalnya, kalau pimpinannya panik, maka karyawannya pun akan ikut panik. Ibarat sebuah bandul, jika titik pusat bandul itu bergerak, maka bola yang ada di bawahnya akan ikut bergerak lebih lebar.

Berpikir optimis bagi seorang entrepreneur dalam menghadapi krisis adalah seperti seorang akrobatik yang tengah meniti tambang. Saya kira, kita pun bisa sebagaimana seorang pesulap yang melepaskan diri dari ikatan. Dalam kaitan ini, saya juga berpendapat dengan entrepreneur dari Paman Sam, Don L. Gevirts, bahwa entrepreneur itu
harus secara terus menerus dapat melihat peluang yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, tidak pernah merasa puas, dan bisa mengeksploitasi sekecil apapun perubahan yang ada.

Sebagai seorang entrepreneur, saya sendiri lebih memandang krisis ekonomi bukan sebagai krisis, tetapi sebaliknya saya memandangnya sebagai sebuah siklus.Mengapa? Ibarat sebagai sebuah roda, sekali waktu tiba di bawah, dan suatu saat akan tiba di atas. Saya sendiri dapat merasakan, bahwa entrepreneur itu ibarat seorang kapten kesebelasan sepakbola, yang harus menjadi inspirator tim sekaligus playmaker yang handal.

Saya harus tahu, kapan harus menjemput bola, dan kapan harus melepas bola. Bahkan, saya pun harus tahu bagaimana cara memanfaatkan bola liar atau bola muntah di depan gawang. Oleh karena itu, saya menyadari bahwa saya harus mempunyai winning commitment atau komitmen untuk menang atau komitmen untuk berhasil secara tepat dan memadai. Dengan cara itu, saya tetap berpikir optimis dalam menerjuni bisnis. Saya tidak boleh mudah terkejut oleh kesulitan, bahkan dengan adanya kesulitan itu saya harus mencari semakin optimis untuk mencari pemecahannya dan semakin memupuk sifat ketabahan. Artinya dengan memiliki sifat tabah, kita akan tetap siap menghadapi segala kemungkinan, terutama ketika orang lain mengalami putus asa karena menghadapi krisis.

Memang saya akui, dalam kondisi seperti itu, ada kelompok yang pesimis, loyo atau tidak bergairah dan bersikap menyerah pada nasib, selain itu ada juga kelompok yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam kondisi krisis saya yakin bahwa saya sendiri maupun entrepreneur yang lain masih tetap ada proses bisnis di masa depan. Dengan kata lain, entrepreneur dituntut tetap tangguh yang didukung oleh spirit, wawasan, dan pengetahuan dan keterampilan manajerial yang handal, serta mampu menyesuaikan dengan perubahan yang sanagat cepat. Selain itu, seorang entrepreneur harus lebih jeli memanfaatkan situasi, misalnya jeli dalam memandang bagaimana krisis ekonomi ini bisa dimanfaatkan untuk bisa mencari peluang. Oleh karena itu saya yakin bahwa aneka peluang muncul justru pada saat kita sedang krisis. Saat dalam kondisi normal dan baik, itu memang bagus, tetapi pada saat dilanda krisis, kalau dapat kita harus lebih bagus lagi. Kita semua harus meyakini hal itu.


Tidak Panik Menghadapi Krisis
Pada masa krisis ekonomi, entrepreneur atau wirausahawan perlu mengembangkan kecerdasan emosional. Dengan begitu ia akan mampu melihat peluang yang ada di sekitarnya. Entrepreneur yang cerdas emosinya tentu juga memiliki "intuisi" yang tajam. Ia dapat menangkap peluang yang tidak dapat dilihat orang lain walau dengan data yang tidak lengkap, ia bisa membuat konklusi yang pas. Dalam kondisi apapun, entrepreneur harus menjadi orang yang action oriented, bukan no action, dream only. Untuk itu diperlukan secara detail terhadap hal-hal yang penting, bila kemudian muncul resiko, dia siap menanggung resiko apapun atas aktivitas bisnisnya. Namun secepat itu pula dia akan melangkah maju untuk menjadi lebih baik.

Entrepreneur semacam ini sangat kita butuhkan, seorang entrepreneur yang cerdas emosinya. Dengan kita berani mengambil resiko, maka kita akan lebih terbuka dalam mengambil peluang. Sebab kalau kita baru berusaha setelah pasarnya "diamankan", itu bukan seorang entrepreneur.

"Entrepreneur harus punya keberanian yang menakjubkan untuk menjadi untung, harus berani memanfaatkan setiap ancaman menjadi peluang, bukan sekedar berusaha menghindar dari ancaman. Dalam kasus ini saya banyak belajar dari entrepreneur cerdas bernama Konosuke Matsushita dari negeri Sakura yang merupakan pendiri Matsushita Electric, Ltd. Jepang."


Dalam biografinya dia bercerita bahwa pada saat Jepang dilanda krisis ekonomi, Matsushita tetap optimis dan berpikir positif. Dia tetap saja melakukan kegiatan seperti sebelum krisis, dia bersikap biasa-biasa saja, dia tidak mudah terpengaruh oleh isu sebab hal itu justru akan memperparah keadaan karena proses bisnisnya menjadi tidak lancar lagi. Sebagai seorang entrepreneur, Matsushita tidak pernah panik, dan bersikap seolah-olah tidak ada krisis.

Matsushita tetap optimis pada kegiatan bisnisnya. Sikap seperti ini bisa kita tiru dan saya kira masih relevan dengan kondisi seperti saat ini. Krisis ekonomi jangan dijadikan alasan untuk tidak memulai atau mengembangkan bisnis. Bila krisis ini berakhir, apa yang akan Anda lakukan, tetap menjadi pemain atau sekedar penonton? Sebab di kala paska krisis pertumbuhan akan sanagat cepat sekali. Oleh karena itu, sebaiknya mencuri start sejak sekarang, untuk memulai atau mengembangkan bisnis yang prospektif di masa depan, anggap saja sekarang ini tidak ada krisis.

Motivasi di Tengah Kekacauan

Perubahan serba cepat dan kacau di segala bidang sungguh kita rasakan dan melihatnya saat ini. Sebagai manajer maupun entrepreneur kita akhirnya tidak hanya sekedar pandai menendang bola saja, yang bisa diposisikan dimana saja sekehendak kita, namun juga harus bisa menendang kucing yang tidak bisa kita atur karena dapat meloncat dan berlari. Sehingga tidak mengherankan kalau manajemen yang masih actual pun tidak mampu mengatasi kekacauan tersebut.

Kekacauan itu berarti banyaknya ketidak pastian. Hari ini tidak ada hubungannya dengan hari kemarin. Hari depan menjadi tidak pasti, tidak bisa diramalkan. Kondisi seperti ini menjadikan kita dalam era lonjakan kurva, tidak lancar dantidak karuan. Sehingga pengetahuan dan pengalaman akhirnya tidak dapat menjamin keberhasilan bisnis di masa depan. Kalau sudah begitu keadaannya, saya berani mengatakan bahwa tidak perlu lagi menghapal ilmu manajemen yang hanya sekedar teori. Kita justru lebih harus lebih kreatif bertanya. Karena bertanya itu tidak pernah usang. Sementara yang namanya jawaban pengetahuan itu masih ketinggalan jaman.

"Begitu juga pengalaman, keadaan yang serba cepat dan kacau itu akhirnya membuat pengalaman itu bukan lagi menjadi guru yang terbaik. Oleh sebab itu, dalam kondisi semacam ini, kita bebas saja dari ilmu pengetahuan dan pengalaman."


Mungkin saja ide saya ini dianggap aneh, tapi itulah yang namanya entrepreneur, yang identik dengan orang aneh. Tom Peter mengatakan bahwa perubahan serba cepat dan kacau itu pertanda jaman edan, sehingga di era global sekarang ini, suka atau tidak suka kita harus berani berakrab-akraban dengan kekacauan. Apalagi kita sedang millennium ketiga. Sebab tidak mustahil, pendekatan yang tidak sistematis atau tidak akademis, justru yang nantinya akan bisa menyelesaikan kekacauan.

Contohnya, Lembah Silikon di Amerika Serikat. Dahulu kawasan itu berkembang pesat dan sangat membanggakan banyak orang. Hal itu karena, Lembah Silikon telah menjadi besi sembrani yang menarik begitu banyak pengusaha yang berkecimpung dalam bisnis computer dan elektronika. Tapi sekarang yang terjadi adalah sebaiknya. Banyak perusahaan di sana menjadi bangkrut. Lembah Silikon ini berubah menjadi kuburan menjadi kuburan massal perusahaan besar. Kejadian tragis ini ternyata dialami juga oleh Negara kita. Dulu banyak pengusaha dan bank yang berjaya, kini kelimpungan dan akhirnya bangkrut.

Sementara itu, dengan semakin banyaknya ilmu manajemen, kerap kali membuat kita semakin terlalu berhati-hati dalam urusan bisnis. Kita tidak punya keberanian untuk bertindak. Dalam pikiran kita yang ada hanyalah ketakutan, kalau sudah begitu, mana mungkin kita punya semangat kerja yang tinggi dan kompetitif. Pengalaman bisnis pun semakin sulit diterapkan, bahkan kerap kali tidak jalan lagi. Perubahan serba cepat dan kacau itu membuat kita sadar, bahwa sekarang ini tidak cukup hanya bermodalkan pengetahuan yang sarat dengan teori semata.

Tetapi saat ini justru membutuhkan orang yang buta teori dan jauh dari mental sekolahan. Nyatanya, orang yang jauh dari mental sekolahan itu jutru yang bida meraih sukses. Hal itu karena mereka tidak hanya sekedar mengandalkan teori, namun mereka lebih mementingkan ketangguhan, keuletan, dan tahan banting. Sehingga semua perubahan yang serba cepat dan kacau justru dianggap sebagai tantangan. Tantangan itulah yang dapat membangkitkan motivasi.

Referensi: Dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment